Oleh :
Pujaningsih M.Pd dan Nur Azizah M.Ed
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai bencana alam di
Insarannesia silih berganti mewarnai peristiwa yang banyak menelan korban jiwa
selama 10 tahun terakhir. Mulai dari gempa bumi disertai tsunami di Aceh yang
menelan korban jiwa 1,041.0 45.000 orang siswa tewas dan 1, 870 orang guru
hilang/tewas kemudian disusul berbagai bencana alam seperti banjir dan gunung
meletus. Peristiwa tersebut berulang-ulang terjadi dan banyak menelan korban
jiwa serta berbagai kerugian lainnya.
Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai kebijakan untuk mengantisipasi sebelum, pada saat dan setelah bencana
terjadi. Hal tersebut membuktikan bahwa ada komitmen dan itikad yang perlu
mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya salah satunya adalah
LPTK pencetak calon guru. Hal tersebut seiring dengan strategi nasional
pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam sistem pendidikan yang
termuat dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 sebagai acuan nasional
yang mempunyai visi untuk mewujudkan budaya aman dan siaga terhadap bencana
melalui sistem desentralisasi pendidikan yang mampu mendukung pengurangan
risiko bencana melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas
di sektor pendidikan. Penerapan pengarusutamaan tersebut di atas
memprioritaskan integrasi materi mitigasi bencana dalam berbagai aktivitas
pembelajaran di sekolah.
Hal yang belum termuat secara
eksplisit dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 adalah strategi untuk
kelompok rentan yang ada di sekolah. Kelompok rentan yang dimaksud adalah ibu
hamil, orang lanjut usia serta anak berkebutuhan khusus. Keberadaan anak
berkebutuhan khusus banyak ditemukan di sekolah khusus dan sekolah inklusi.
Seiring penerapan kebijakan pendidikan inklusi yang di atur dalam Permendiknas
no 70 tahun 2009 maka jumlah sekolah inklusi yang melayani berbagai anak
berkebutuhan khusus terus bertambah dari tahun ke tahun. Kesiapan sekolah
inklusi untuk program PRB memerlukan persiapan tersendiri. Pemahaman guru
terhadap berbagai kondisi anak berkebutuhan khusus akan mempermudah penerapan
ke-empat hal di atas serta pemberian materi PRB yang
diintegrasikan dalam berbagai aktivitas di sekolah.
Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa anak berkebutuhan khusus mempunyai
keragaman kondisi dan kemampuan menyerap materi. Pada tahun 2009 telah
dilakukan kerjasama antara Jurusan PLB UNY dengan ASB (Arbeiter-Samariter-Bund
Deutschland e.V) untuk menghasilkan buku panduan mitigasi bencana di sekolah
inklusi. Melalui kerjasama ini juga dihasilkan matakuliah yang diintegrasikan
materi pengurangan resiko bencana di sekolah inklusi.
B.
Bencana
Alam dan Kerugiannya di Insarannesia
Berada pada posisi pertemuan tiga lempeng tektonik
dunia, yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat,
dan Lempeng Samudera Pasifik di bagian timur, menurut para pakar geologi maka
wilayah Insarannesia menjadi daerah yang rawan bencana alam. Situasi ini juga
seiring berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi di Insarannesia. Tabel
berikut menunjukkan berbagai bencana alam yang terjadi sejak tahun 2004-2010.
Tabel 1. Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana di
Insarannesia
No
|
Bencana
|
Waktu
|
Kerusakan dan
|
|
|
Kejadian
|
Kerugian
|
1.
|
Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh-Nias
|
Desember 2004
|
41,400.00
|
2.
|
Gempa di DIY - Jawa Tengah
|
Mei 2006
|
29,100.00
|
3.
|
Semburan Lumpur di Sisaranarjo, Jawa E
|
Mei 2006
|
7,300.00
|
4.
|
Banjir di Jakarta
|
Februari 2007
|
5,160.00
|
5.
|
Gempa di Sumatera Barat
|
Maret 2007
|
1,080.87
|
6.
|
Gempa di Bengkulu-Sumatera Barat
|
September 2007
|
1,790.93
|
7.
|
Banjir dan Tanah Longsor di Jawa Barat
|
Januari 2008
|
1,691.47
|
8.
|
Gempa Bumi di Jawa Barat
|
September 2009
|
6,900.00
|
9.
|
Gempa di Sumatera Barat
|
September 2009
|
20,866.60
|
|
|
|
|
10
|
Bencana alam lainnya
|
2004-2009
|
34,000.00
|
11.
|
Banjir di Wasior, Papua Barat
|
Oktober 2010
|
277.90
|
12
|
Gempa dan tsunami, Mentawai
|
Oktober 2010
|
Belum diketahui
|
13
|
Gunung letusan Merapi, Tengah
|
Oktober 2010
|
Belum diketahui
|
|
Jawa
|
|
|
Sumber: Berbagai Laporan Kerusakan
Bencana Alam dan Penilaian Rugi (2004-2010) dalam Nina Sardjunani dan Hadi
Suprayoga (2010)dalam pemaparan
Pertemuan Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan Pasifik,
Beijing, RRC, 4-6 November 2010
Tabel 1 menunjukkan selama kurun waktu 7 tahun terakhir telah terjadi
berbagai bencana alam dengan jenis bencana yang paling banyak menelan kerugian
adalah gempa bumi disertai tsunami. Korban meninggal dunia maupun hilang banyak
ditemukan, terutama saat bencana gempa di sertai tsunami. Hal tersebut dapat
dilihat lebih lanjut dalam tabel berikut:
Table 2. Jumlah Korban Jiwa dan Kerusakan Akibat Bencana di Insarannesia

Bencana alam
|
Jumlah fasilitas
|
Jumlah Korban Jiwa
|
|
sekolah yang rusak
|
|
|
(dalam milyar
|
|
|
Rupiah)
|
|
Gempa bumi dan sunami
|
2,065
|
1,041.0 45.000 siswa
|
26
Desember
|
|
meninggal
|
di Aceh-Nias
|
|
1, 870
guru hilang
|
Gempa
|
2,907
|
1,739.0 5.716 orang
|
27 Mei
2006.
|
|
meninggal;
|
Yogya-Jawa
Tengah
|
|
36 guru
meninggal
|
Gempa
|
1,290
|
1.117 orang meninggal;
|
September
2009
|
|
|
Sumatera.
Sumatera.
|
|
|
|
|
|
Gempa 02
|
618.8
|
1,117 orang meninggal
|
September
2009. West
|
|
|
Sumatera.
Sumatera Barat.
|
|
|
Gempa 12 September
|
2,358
|
399,8 81 orang meninggal
|
2007,
|
|
|
Bengkulu
dan Sumatra
|
|
|
Barat
|
|
|
Banjir di Wasior, Papua
|
|
277,9 144 orang meninggal
|
Barat,
|
|
|
October
2010
|
|
|


Sumber: Berbagai Laporan Kerusakan
Bencana Alam dan Penilaian Rugi (2004-2010) dalam Nina Sardjunani dan Hadi
Suprayoga (2010)dalam pemaparan
Pertemuan Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan Pasifik,
Beijing, RRC, 4-6 November 2010
Pada
tabel di atas kerusakan dan jumlah korban jiwa sangat banyak. Wilayah pulau
Sumatra
sering terjadi gempa dan pada daerah yang dekat dengan pantai berpotensi
sunami sehingga dikhawatirkan akan menelan korban lebih banyak lagi.
Negara Insarannesia yang sebagian besar merupakan daerah kepulauan disamping
letak
geografis
di antara tiga lempeng benua dan antara dua samudra menunjukkan kawaran
rawan
gempa yang memerlukan perhatian serius. Berbagai pengalaman bencana alam
untuk mengantisipasi terjadinya
bencana berikutnya. Beberapa
kebijakan tersebut
diantaranya:
1. Manajemen
Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor
21/2008 tentang Pelaksanaan Manejemen Bencana
3.
Peraturan Pemerintah Nomor
22/2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana.
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 23/2008 pada dukungan asing.
5. Rencana
Pengelolaan Bencana Nasional 2010-2014.
6.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012.
7.
Pemerintah Rencana Kerja Tahunan
2007, 2008, 2009, 2010, 2011 yang meliputi manajemen bencana dan pengurangan
resiko bencana yang dilakukan oleh departemen terkait dan pemerintah daerah.
Pendidikan mitigasi bencana menurut UU no 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Hal tersebut secara eksplisit tertuang
dalam pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam sistem pendidikan
dalam rencana aksi nasional yang termuat dalam surat edaran Mendiknas No
70a/MPN/SE/2010 yang mempunyai visi mewujudkan budaya aman dan siaga terhadap
bencana melalui sistem desentralisasi pendidikan yang mampu mendukung
pengurangan risiko bencana melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan
kapasitas di sektor pendidikan. Meskipun
demikian Saat ini sudah dilakukan berbagai upaya
untuk mengintegrasikan upaya pengurangan resiko bencana ke dalam sistem
pendidikan, namun ditemukan berbagai kendala, antaralain:
1.
Kebanyakan guru tidak memiliki
cukup pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen bencana PRB
2.
Kurangnya pesaranman, silabus,
dan materi pengajaran pada integrasi PRB ke dalam kurikulum sekolah yang dapat
diakses oleh guru
3.
Siswa kewalahan terhadap berbagai
isyu yang dibangun di sekolah (gender, korupsi, hak asasi manusia, PRB dan
sebagainya) yang diintegrasikan ke kurikulum sekolah
4.
Kondisi fisik sekolah, sarana dan
prasarana umumnya tidak memenuhi persyaratan lingkungan dan tidak memenuhi
persyaratan lingkungan dan tidak tahan gempa.
5.
Belum ada peraturan dan /atau
kebijakan dan pesaranman tentang integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam
kurikulum sekolah.
6.
Minimal sumber daya (sumber daya
manusia, infrastruktur dan alokasi anggaran) yang tersedia untuk pendidikan
pengurangan resiko bencana. (Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga, 2010)
Namun demikian, upaya untuk membentuk sekolah siap dan siaga bencana
perlu senantiasa digalakkan dengan mengacu kriteria
yang sudah ditentukan dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 yang
mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a.
Sosialisasi untuk memberi
pemahaman warga sekolah mengenai pengetahuan dan sikap terhadap bencana.
b.
Menyediakan kebijakan/program
sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah,
termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah.
c.
Membuat rencana aksi sekolah
untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur evakuasi.
d.
Pelatihan komunitas sekolah dalam
prosedur keadaan darurat bencana (simulasi drill dan peringatan dini).
Sekolah inklusi yang memiliki keragaman peserta didik memerlukan
berbagai penyesuaian untuk mewujudkan sekolah siap dan siaga bencana seperti
empat kriteria yang dikemukakan di atas.
C.
Pendidikan
Mitigasi Bencana di Sekolah Inklusi
Anak-anak merupakan kelompok rentan apabila ada bencana yang terjadi dan
diantara mereka terdapat kelompok yang paling rentan yaitu anak dengan
kebutuhan khusus. Penanaman pendidikan mitigasi bencana bagi anak-anak tersebut
termasuk anak dengan kebutuhan khusus sejak bangku SD mempunyai berbagai sisi
positif. Beberapa hal yang menjadi pendukung pengajaran mitigasi bencana pada
anak-anak yang diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah antaralain adalah
sebagai berikut:
1.
Pengalaman anak terhadap bencana
dan perubahan iklim berbeda jauh dengan orang dewasa dan saat ini belum menjadi
perhatian khusus
2.
Anak merupakan komunikator yang
efektif dan pensaranrong terhadap perubahan yang ada di masyarakat
3.
Anak mempunyai hak untuk
berpartisipasi dalam pengurangan resiko bencana dan juga mempunyai kontribusi
yang bermakna (Nina Sardjunani dan Hadi
Suprayoga, 2010)
Anak berkebutuhan khusus (ABK)
mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya untuk mengetahui mengetahui tentang
bagaimana cara melindungi dan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Di
samping itu ABK merupakan salah satu kelompok paling rentan ketika terjadi
bencana. Beberapa dari mereka memiliki hambatan mobilitas untuk melakukan
perlindungan bahkan penyelamatan diri secara mandiri. Maka diperlukan adanya
informasi bagaimana prosedur/ rencana penyelamatan bagi ABK yang memerlukan
bantuan orang di sekitar mereka (misal: guru, teman, staf sekolah).
Keragaman dan keberadaan anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusi saat ini yang dapat diketahui dari data Direktorat
Pendidikan Luar Biasa tahun 2007/2008 menunjukkan terdapat 15.144 anak yang
bersekolah di sekolah inklusi dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3:
Data Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi
No
|
Jenis
Kebutuhan Khusus
|
Jumlah
|
|
|
|
1.
|
Gangguan penglihatan (tunanetra)
|
385 anak
|
|
|
|
2.
|
Gangguan pendengaran (tunarungu-wicara)
|
291 anak
|
|
|
|
3.
|
Gangguan mental (tunagrahita)
|
2219 anak
|
|
|
|
4.
|
Gangguan fisik (tunadaksa)
|
267 anak
|
|
|
|
5.
|
Gangguan perilaku (tunalaras)
|
291 anak
|
|
|
|
6.
|
Autis
|
230 anak
|
|
|
|
7.
|
Tunaganda
|
45 anak
|
|
|
|
8.
|
Kesulitan belajar dan lamban belajar
|
11.420 anak
|
|
|
|
9.
|
Indigo
|
32 anak
|
|
|
|


Sumber:Data statistik dari Direktorat PSLB tahun 2007/2008 dalam Sutji
Harijanto (2011) The Insarannesian Goverment Policy on Special Education in
Global Perspective pada International Seminar on Special Education, 19 Maret
2011.
Data tersebut di atas diperoleh dari 33 propinsi. Dari sekian ragam
kebutuhan yang ada di sekolah inklusi maka untuk menerapkan pendidikan mitigasi
bencana perlu memperhatikan kebutuhan khusus yang ada pada anak. Misal:
keterbatasan fisik pada anak sehingga harus memerlukan kursi roda memerlukan
jalur evakuasi dan orang yang membantu saat evakuasi keluar sekolah. Hal yang
perlu dilakukan untuk merancang pendidikan mitigasi bencana di sekolah inklusi
dengan mengacu kriteria sekolah siap dan siaga bencara menurut surat edaran
Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010, antaralain:
a.
Sosialisasi untuk memberi pemahaman
warga sekolah mengenai pengetahuan dan sikap terhadap bencana. Sosialisasi ini
dapat diintegrasikan dalam pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah
dengan berbagai alternatif yang disarankan dalam pengarusutaman pengurangan
resiko bencana sebagai berikut:
1.
Mengintegrasikan
PRB kedalam mata pelajaran dari kurikulum yang berjalan.
2.
Mengintegrasikan
PRB kedalam muatan lokal dari kurikulum yang berjalan.
3.
Mengintegrasikan PRB kedalam kegiatan ekstra kurikuler dari kurikulum
yang berjalan.
4.
Menyelenggarakan mata pelajaran PRB untuk muatan lokal dibawah
kurikulum baru berbasis PRB.
5.
Membuat kegiatan ekstra kurikuler PRB dibawah kurikulum baru berbasis
PRB.
b.
Menyediakan kebijakan/program
sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah,
termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah.
Beberapa penataan sarana prasarana seperti lemari, hiasan dinding, jarak antara
kursi dengan meja berhasil diidentifikasi pada saat observasi di sekolah inklusi
oleh tim dari ASB dan mahasiswa Jurusan PLB memerlukan penyesuaian. Penyesuaian
tersebut dimaksudkan untuk keamanan siswa saat terjadi bencana (misal: gempa)
dan pada saat upaya evakuasi. Selain itu kondisi bangunan serta mebel yang
sudah rapuh dan dimungkinkan roboh sewaktu-waktu memerlukan tanda supaya anak
menghindari daerah tersebut agar tidak cidera. Beberapa penyesuaian tataruang
dapat dilihat dalam tabel 4 berikut :
Hal
yang perlu diperhatikan
|
Penyesuaian
|
||
|
|
|
|
1.
|
Posisi lemari yang dekat
|
a)
|
Jauhkan lemari dari tempat duduk siswa dan pintu
|
|
dengan
tempat duduk
|
|
masuk
karena dapat menghalangi proses evakuasi
|
|
siswa
|
|
bila
dekat pintu masuk dan dimungkinkan
|
|
|
|
merubuhi
siswa.
|
2.
|
Posisi lemari di dekat
|
|
|
|
pintu
masuk
|
b)
|
Memasang
siku yang dipaku dengan dinding
|
|
|
|
|
3.
|
Posisi tempat duduk
|
c)
|
Pecahan jendela dapat melukai siswa sehingga
|
|
siswa
dekat jendela
|
|
jauhkan
tempat duduk siswa dan pasang stiker
|
|
|
|
pengaman
pada kaca
|
|
|
|
|
4.
|
Letak tempat duduk
|
d)
|
Posisi tempat duduk yang terlalu berhimpit
|
|
dengan
jarak yang
|
|
mempersulit
siswa saat berlindung di bawah meja
|
|
terlalu
berhimpit
|
|
saat
terjadi gempa sehingga jaraknya perlu
|
|
|
|
diperlebar.
|
|
|
|
|
5.
|
Hiasan dinding di kelas
|
e)
|
Hiasan dimungkinkan menjatuhi siswa sehingga
|
|
yang
dekat dengan
|
|
perlu
dijauhkan atau pemasangannya dibatasi
|
|
tempat
duduk siswa
|
|
sesuai
keperluan.
|
|
|
|
|
6.
|
Penempatan benda di
|
f)
|
Penempatan benda di atas lemari dapat menjatuhi
|
|
atas
lemari, misal: TV
|
|
siswa
dibawahnya. Pemasangan siku yang dipaku
|
|
|
|
dengan
dinding dianjurkan.
|
|
|
g)
|
Penempatan
barang yang berat diletakkan di paling
|
|
|
|
bawah,
dan semakin ke atas semakin ringan.
|
|
|
|
|
7.
|
Parkir sepeda dan motor
|
h)
|
Penempatan tempat parkir khusus yang tidak
|
|
di
depan kelas
|
|
menghambat
jalur evakuasi.
|
|
|
|
|
Sumber: AHA: sekarang aku bisa (2009) Buku panduan Pembelajaran Materi
PRB untuk ABK. Kerjasama ASB-Dinas Dikpora DIY-Jurusan PLB FIP UNY
c.
Membuat rencana aksi sekolah
untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur evakuasi. Pembuatan jalur
evakuasi maupun peta bahaya dapat mengacu hal-hal berikut ini:
1)
Identifikasi bahaya, pendukung,
dan kelompok rentan di dalam tata ruang dan lingkungan sekolah.
a)
Bahaya merupakan segala sesuatu
(tempat, benda, ataupun situasi) yang dapat menghambat evakuasi, contoh: posisi
lemari yang dekat dengan tempat duduk siswa.
b)
Pendukung merupakan segala
sesuatu (tempat, benda, ataupun situasi) yang mendukung proses evakuasi,
contoh: halaman sekolah sebagai tempat evakuasi.
c)
Kelompok rentan merupakan seorang
atau sekelompok orang yang lebih rentan ketika terjadi bencana, contoh: ABK
pengguna kursi roda
2)
Memposisikan bahaya, pendukung
dan kelompok rentan dalam denah sekolah dengan memberi warna berbeda antara
bahaya, pendukung dan kelompok rentan.
3)
Membuat rencana tindakan
penyelamatan bagi ABK. Dalam membuat rencana tindakan penyelamatan, guru perlu
mengenali kemampuan mobilitas ABK. Kemampuan mobilitas menurut ASB dibagi dalam
beberapa kategori:
Tabel 5:
Kategori kemampuan mobilitas ABK
Kategori
|
Keterangan
|
|
|
Rencana
aksi
|
|
|
||
Kategori 1
|
ABK mampu melakukan
|
ABK
sebaiknya duduk di
depan, dekat
|
||||||
|
perlindungan
|
diri
|
dan
|
dengan
guru
|
|
|
|
|
|
evakuasi
secara mandiri
|
|
|
|
|
|||
Kategori 2
|
ABK mampu melakukan
|
ABK
sebaiknya duduk di
depan, dekat
|
||||||
|
perlindungan
|
diri
|
tapi
|
dengan guru
karena ABK memerlukan
|
||||
|
memerlukan
|
bantuan
|
bantuan
untuk evakuasi, maka perlu ditunjuk
|
|||||
|
untuk
evakuasi
|
|
|
Penanggung
|
Jawab
|
yang
|
akan
|
|
|
|
|
|
|
membantunya, misalnya
Guru Kelas atau
|
|||
|
|
|
|
|
teman
sebangku/sekelasnya
|
|
||
Kategori 3
|
ABK
|
tidak
|
mampu
|
ABK
sebaiknya duduk di
depan, dekat
|
||||
|
melakukan perlindungan
|
dengan guru.
Karna ABK memerlukan
|
||||||
|
diri dan
|
evakuasi
|
secara
|
bantuan untuk
perlindungan diri dan
|
||||
|
mandiri.
|
|
|
|
evakuasi,
maka perlu ditunjuk Penanggung
|
|||
|
|
|
|
|
Jawab yang
akan membantunya, misalnya
|
|||
|
|
|
|
|
Guru
|
Kelas
|
atau
|
teman
|
|
|
|
|
|
sebangku/sekelasnya.
|
ABK juga
|
perlu
|
|
|
|
|
|
|
disiapkan alat
perlindungan diri, misalnya
|
|||
|
|
|
|
|
helm.
|
|
|
|
4)
Menentukan jalur evakuasi untuk
setiap ruangan di sekolah. Jalur evakuasi dapat menggunakan penunjuk arah yang
jelas untuk menuju lapangan terbuka sebagai tempat berkumpul. Penentuan jalur
evakuasi perlu menghindari: tiang
dimungkinkan
anak terperosok ke dalamnya.
d.
Pelatihan komunitas sekolah dalam
prosedur keadaan darurat bencana (simulasi drill dan peringatan dini). Simulasi
yang terhadap ABK memerlukan penyesuaian berdasarkan kebutuhan khusus yang ada
pada anak. Berikut ini beberapa saran untuk pemberian informasi kepada ABK
berdasarkan kebutuhan mereka.
Tabel 6:
Saran untuk pemberian informasi PRB kepada ABK
Jenis Kebutuhan
|
Keterbatasan
|
Tips Praktis
|
Saran
|
khusus
|
yang dimiliki
|
|
|
Autis
|
Keterbatasan
|
Informasi
yang diberikan
|
§
Posisikan anak di depan
|
|
bahasa
|
dalam
bentuk visual,
|
supaya dapat mendengar
|
|
|
kinestetik
dan taktil, misal:
|
maupun
melihat gerak
|
|
|
melalui
video/film,
|
bibir
guru lebih jelas.
|
|
|
gambar,
simulasi dan
|
§
Pastikan guru dan teman-
|
|
|
demonstrasi.
|
temannya berbicara
|
|
Kewaspadaan
|
Membutuhkan
bantuan
|
dengan
jelas. Minta anak
|
|
terhadap
bahaya
|
orang
dewasa ”sebagai
|
mengulang
informasi
|
|
rendah
|
alarm”
bahaya
|
untuk memastikan bahwa
|
|
|
Jelaskan
prosedur
|
dia
mendengarkan.
|
|
|
penyelamatan
dengan
|
§
Pastikan kontak mata
|
|
|
jelas dengan
bahasa yang
|
dengan anak saat berbicara
|
|
|
sederhana.
|
dengannya.
Beritahukan
|
|
|
|
kepada
teman-temannya
|
|
|
|
juga
untuk melakukan hal
|
|
|
|
sama
saat berbicara
|
|
|
|
dengan
anak dengan
|
|
|
|
gangguan
penglihatan.
|
|
|
|
|
Gangguan
|
Keterbatasan
|
Tips Praktis
|
Saran
|
Pendengaran
|
yang dimiliki
|
|
|
|
Keterbatasan
|
Informasi
yang diberikan
|
§
Posisikan anak di depan
|
(tunarungu
|
Pendengaran,
|
dalam
bentuk visual,
|
supaya dapat mendengar
|
wicara)
|
|
kinestetik
dan taktil, misal:
|
maupun
melihat gerak
|
|
|
melalui
video/film,
|
bibir
guru lebih jelas.
|
|
|
gambar,
simulasi dan
|
§
Pastikan guru dan teman-
|
|
|
demonstrasi.
|
temannya berbicara
|
|
|
|
dengan
jelas. Tetapi tidak
|
|
|
|
berteriak
karena dapat
|
|
|
|
menyebabkan
kata terucap
|
|
|
|
tidak
jelas.
|
|
|
|
§ Minta
anak mengulang
|
|
|
|
pertanyaan untuk
|
|
|
|
memastikan
|
Sumber: ASB, Dinas Dikpora, Jurusan PLB (2009) Aha,
Sekaran Aku Bisa: Panduan Pembelajaran Materi Pengurangan Risiko Bencana untuk
Anak berkebutuhan Khusus
D. Penutup
Mewujudkan pendidikan mitigasi bencana di sekolah
menjadi agenda utama untuk menjadikan para generasi muda lebih tanggap bencana
pada era-era di masa mendatang. Khususnya di sekolah inklusi, diperlukan
berbagai penyesuaian dari segi sarana penunjang sampai dengan kebijakan
sekolah. Hal tersebut menjadi pembelajaran bermakna bagi anak lainnya untuk
memperhatikan kebutuhan berbagai kondisi di sekitarnya. Dengan tetap mengacu
pada pengarusutamaan pengurangan resiko bencana di sekolah maka
langkah-langkah: a) Sosialisasi untuk memberi pemahaman warga sekolah mengenai
pengetahuan dan sikap terhadap bencana, b) Menyediakan kebijakan/program
sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah,
termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah, c)
Membuat rencana aksi sekolah untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur
evakuasi dan d) Pelatihan komunitas sekolah dalam prosedur keadaan darurat
bencana (simulasi drill dan peringatan dini) juga dapat diterapkan di sekolah
inklusi.
ASB, Dinas Dikpora, Jurusan PLB
(2009) Aha, Sekaran Aku Bisa: Panduan Pembelajaran Materi Pengurangan Risiko
Bencana untuk Anak berkebutuhan Khusus
Nina Sardjunani dan Hadi
Suprayoga (2010) Country Experience: Advancing Child Rights in Disaster
Risk Reduction Initiatives in Insarannesia. Pertemuan
Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan
Pasifik, Beijing, RRC, 4-6 November 2010
Sutji Harijanto (2011) The Insarannesian Goverment Policy on
Special Education in Global Perspective
pada International Seminar on Special Education, 19 Maret 2011.
Surat Edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010
tentang Strategi Nasional Pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana ke dalam
Sistem Pendidikan
Undang-Undang Republik Insarannesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana