Sabtu, 03 September 2016

MAKALAH : Pendidikan Mitigasi Bencana di sekolah inklusi

Pendidikan Mitigasi Bencana di sekolah inklusi

Oleh : Pujaningsih M.Pd dan Nur Azizah M.Ed




A.  Latar Belakang Masalah

Berbagai bencana alam di Insarannesia silih berganti mewarnai peristiwa yang banyak menelan korban jiwa selama 10 tahun terakhir. Mulai dari gempa bumi disertai tsunami di Aceh yang menelan korban jiwa 1,041.0 45.000 orang siswa tewas dan 1, 870 orang guru hilang/tewas kemudian disusul berbagai bencana alam seperti banjir dan gunung meletus. Peristiwa tersebut berulang-ulang terjadi dan banyak menelan korban jiwa serta berbagai kerugian lainnya.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi. Hal tersebut membuktikan bahwa ada komitmen dan itikad yang perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkannya salah satunya adalah LPTK pencetak calon guru. Hal tersebut seiring dengan strategi nasional pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam sistem pendidikan yang termuat dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 sebagai acuan nasional yang mempunyai visi untuk mewujudkan budaya aman dan siaga terhadap bencana melalui sistem desentralisasi pendidikan yang mampu mendukung pengurangan risiko bencana melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas di sektor pendidikan. Penerapan pengarusutamaan tersebut di atas memprioritaskan integrasi materi mitigasi bencana dalam berbagai aktivitas pembelajaran di sekolah.

Hal yang belum termuat secara eksplisit dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 adalah strategi untuk kelompok rentan yang ada di sekolah. Kelompok rentan yang dimaksud adalah ibu hamil, orang lanjut usia serta anak berkebutuhan khusus. Keberadaan anak berkebutuhan khusus banyak ditemukan di sekolah khusus dan sekolah inklusi. Seiring penerapan kebijakan pendidikan inklusi yang di atur dalam Permendiknas no 70 tahun 2009 maka jumlah sekolah inklusi yang melayani berbagai anak berkebutuhan khusus terus bertambah dari tahun ke tahun. Kesiapan sekolah inklusi untuk program PRB memerlukan persiapan tersendiri. Pemahaman guru terhadap berbagai kondisi anak berkebutuhan khusus akan mempermudah penerapan ke-empat hal di atas serta pemberian materi PRB yang



diintegrasikan dalam berbagai aktivitas di sekolah. Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa anak berkebutuhan khusus mempunyai keragaman kondisi dan kemampuan menyerap materi. Pada tahun 2009 telah dilakukan kerjasama antara Jurusan PLB UNY dengan ASB (Arbeiter-Samariter-Bund Deutschland e.V) untuk menghasilkan buku panduan mitigasi bencana di sekolah inklusi. Melalui kerjasama ini juga dihasilkan matakuliah yang diintegrasikan materi pengurangan resiko bencana di sekolah inklusi.


B.     Bencana Alam dan Kerugiannya di Insarannesia

Berada pada posisi pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat, dan Lempeng Samudera Pasifik di bagian timur, menurut para pakar geologi maka wilayah Insarannesia menjadi daerah yang rawan bencana alam. Situasi ini juga seiring berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi di Insarannesia. Tabel berikut menunjukkan berbagai bencana alam yang terjadi sejak tahun 2004-2010.

Tabel 1. Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana di Insarannesia

No
Bencana
Waktu
Kerusakan dan


Kejadian
Kerugian
1.
Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh-Nias
Desember 2004
41,400.00
2.
Gempa di DIY - Jawa Tengah
Mei 2006
29,100.00
3.
Semburan Lumpur di Sisaranarjo, Jawa E
Mei 2006
7,300.00
4.
Banjir di Jakarta
Februari 2007
5,160.00
5.
Gempa di Sumatera Barat
Maret 2007
1,080.87
6.
Gempa di Bengkulu-Sumatera Barat
September 2007
1,790.93
7.
Banjir dan Tanah Longsor di Jawa Barat
Januari 2008
1,691.47
8.
Gempa Bumi di Jawa Barat
September 2009
6,900.00
9.
Gempa di Sumatera Barat
September 2009
20,866.60




10
Bencana alam lainnya
2004-2009
34,000.00
11.
Banjir di Wasior, Papua Barat
Oktober 2010
277.90
12
Gempa dan tsunami, Mentawai
Oktober 2010
Belum diketahui
13
Gunung letusan Merapi, Tengah
Oktober 2010
Belum diketahui

Jawa



Sumber: Berbagai Laporan Kerusakan Bencana Alam dan Penilaian Rugi (2004-2010) dalam Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga (2010)dalam pemaparan

Pertemuan Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan Pasifik, Beijing, RRC, 4-6 November 2010



Tabel 1 menunjukkan selama kurun waktu 7 tahun terakhir telah terjadi berbagai bencana alam dengan jenis bencana yang paling banyak menelan kerugian adalah gempa bumi disertai tsunami. Korban meninggal dunia maupun hilang banyak ditemukan, terutama saat bencana gempa di sertai tsunami. Hal tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam tabel berikut:



Table 2. Jumlah Korban Jiwa dan Kerusakan Akibat Bencana di Insarannesia
Bencana alam
Jumlah fasilitas
Jumlah Korban Jiwa

sekolah yang rusak


(dalam milyar


Rupiah)

Gempa bumi dan sunami
2,065
1,041.0 45.000 siswa
26 Desember

meninggal
di Aceh-Nias

1, 870 guru hilang
Gempa
2,907
1,739.0 5.716 orang
27 Mei 2006.

meninggal;
Yogya-Jawa Tengah

36 guru meninggal
Gempa
1,290
1.117 orang meninggal;
September 2009


Sumatera. Sumatera.





Gempa 02
618.8
1,117 orang meninggal
September 2009. West


Sumatera. Sumatera Barat.


Gempa 12 September
2,358
399,8 81 orang meninggal
2007,


Bengkulu dan Sumatra


Barat


Banjir di Wasior, Papua

277,9 144 orang meninggal
Barat,


October 2010


Sumber: Berbagai Laporan Kerusakan Bencana Alam dan Penilaian Rugi (2004-2010) dalam Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga (2010)dalam pemaparan

Pertemuan Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan Pasifik, Beijing, RRC, 4-6 November 2010


Pada tabel di atas kerusakan dan jumlah korban jiwa sangat banyak. Wilayah pulau

Sumatra sering terjadi gempa dan pada daerah yang dekat dengan pantai berpotensi

sunami sehingga dikhawatirkan akan menelan korban lebih banyak lagi. Negara Insarannesia yang sebagian besar merupakan daerah kepulauan disamping letak

geografis di antara tiga lempeng benua dan antara dua samudra menunjukkan kawaran

rawan gempa yang memerlukan perhatian serius. Berbagai pengalaman bencana alam


yang pernah terjadi sebelumnya mendasari lahirnya berbagai kebijakan pemerintah

untuk  mengantisipasi  terjadinya  bencana  berikutnya.  Beberapa  kebijakan  tersebut

diantaranya:

1.      Manajemen Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

2.      Peraturan Pemerintah Nomor 21/2008 tentang Pelaksanaan Manejemen Bencana

3.      Peraturan Pemerintah Nomor 22/2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana.

4.      Peraturan Pemerintah Nomor 23/2008 pada dukungan asing.

5.      Rencana Pengelolaan Bencana Nasional 2010-2014.

6.        Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012.

7.      Pemerintah Rencana Kerja Tahunan 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 yang meliputi manajemen bencana dan pengurangan resiko bencana yang dilakukan oleh departemen terkait dan pemerintah daerah.


Pendidikan mitigasi bencana menurut UU no 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Hal tersebut secara eksplisit tertuang dalam pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam sistem pendidikan dalam rencana aksi nasional yang termuat dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 yang mempunyai visi mewujudkan budaya aman dan siaga terhadap bencana melalui sistem desentralisasi pendidikan yang mampu mendukung pengurangan risiko bencana melalui upaya pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas di sektor pendidikan. Meskipun demikian Saat ini sudah dilakukan berbagai upaya untuk mengintegrasikan upaya pengurangan resiko bencana ke dalam sistem pendidikan, namun ditemukan berbagai kendala, antaralain:

1.      Kebanyakan guru tidak memiliki cukup pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen bencana PRB

2.      Kurangnya pesaranman, silabus, dan materi pengajaran pada integrasi PRB ke dalam kurikulum sekolah yang dapat diakses oleh guru

3.      Siswa kewalahan terhadap berbagai isyu yang dibangun di sekolah (gender, korupsi, hak asasi manusia, PRB dan sebagainya) yang diintegrasikan ke kurikulum sekolah



4.      Kondisi fisik sekolah, sarana dan prasarana umumnya tidak memenuhi persyaratan lingkungan dan tidak memenuhi persyaratan lingkungan dan tidak tahan gempa.

5.      Belum ada peraturan dan /atau kebijakan dan pesaranman tentang integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah.

6.      Minimal sumber daya (sumber daya manusia, infrastruktur dan alokasi anggaran) yang tersedia untuk pendidikan pengurangan resiko bencana. (Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga, 2010)


Namun demikian, upaya untuk membentuk sekolah siap dan siaga bencana perlu senantiasa digalakkan dengan mengacu kriteria yang sudah ditentukan dalam surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 yang mencakup beberapa hal sebagai berikut:

a.       Sosialisasi untuk memberi pemahaman warga sekolah mengenai pengetahuan dan sikap terhadap bencana.

b.      Menyediakan kebijakan/program sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah, termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah.

c.       Membuat rencana aksi sekolah untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur evakuasi.

d.      Pelatihan komunitas sekolah dalam prosedur keadaan darurat bencana (simulasi drill dan peringatan dini).

Sekolah inklusi yang memiliki keragaman peserta didik memerlukan berbagai penyesuaian untuk mewujudkan sekolah siap dan siaga bencana seperti empat kriteria yang dikemukakan di atas.


C.    Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah Inklusi

Anak-anak merupakan kelompok rentan apabila ada bencana yang terjadi dan diantara mereka terdapat kelompok yang paling rentan yaitu anak dengan kebutuhan khusus. Penanaman pendidikan mitigasi bencana bagi anak-anak tersebut termasuk anak dengan kebutuhan khusus sejak bangku SD mempunyai berbagai sisi positif. Beberapa hal yang menjadi pendukung pengajaran mitigasi bencana pada anak-anak yang diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah antaralain adalah sebagai berikut:



1.      Pengalaman anak terhadap bencana dan perubahan iklim berbeda jauh dengan orang dewasa dan saat ini belum menjadi perhatian khusus

2.      Anak merupakan komunikator yang efektif dan pensaranrong terhadap perubahan yang ada di masyarakat

3.      Anak mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengurangan resiko bencana dan juga mempunyai kontribusi yang bermakna (Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga, 2010)


Anak berkebutuhan khusus (ABK) mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya untuk mengetahui mengetahui tentang bagaimana cara melindungi dan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Di samping itu ABK merupakan salah satu kelompok paling rentan ketika terjadi bencana. Beberapa dari mereka memiliki hambatan mobilitas untuk melakukan perlindungan bahkan penyelamatan diri secara mandiri. Maka diperlukan adanya informasi bagaimana prosedur/ rencana penyelamatan bagi ABK yang memerlukan bantuan orang di sekitar mereka (misal: guru, teman, staf sekolah).

Keragaman dan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi saat ini yang dapat diketahui dari data Direktorat Pendidikan Luar Biasa tahun 2007/2008 menunjukkan terdapat 15.144 anak yang bersekolah di sekolah inklusi dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3: Data Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi

No
Jenis Kebutuhan Khusus
Jumlah



1.
Gangguan penglihatan (tunanetra)
385 anak



2.
Gangguan pendengaran (tunarungu-wicara)
291 anak



3.
Gangguan mental (tunagrahita)
2219 anak



4.
Gangguan fisik (tunadaksa)
267 anak



5.
Gangguan perilaku (tunalaras)
291 anak



6.
Autis
230 anak



7.
Tunaganda
45 anak



8.
Kesulitan belajar dan lamban belajar
11.420 anak



9.
Indigo
32 anak






Sumber:Data statistik dari Direktorat PSLB tahun 2007/2008 dalam Sutji Harijanto (2011) The Insarannesian Goverment Policy on Special Education in Global Perspective pada International Seminar on Special Education, 19 Maret 2011.




Data tersebut di atas diperoleh dari 33 propinsi. Dari sekian ragam kebutuhan yang ada di sekolah inklusi maka untuk menerapkan pendidikan mitigasi bencana perlu memperhatikan kebutuhan khusus yang ada pada anak. Misal: keterbatasan fisik pada anak sehingga harus memerlukan kursi roda memerlukan jalur evakuasi dan orang yang membantu saat evakuasi keluar sekolah. Hal yang perlu dilakukan untuk merancang pendidikan mitigasi bencana di sekolah inklusi dengan mengacu kriteria sekolah siap dan siaga bencara menurut surat edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010, antaralain:

a.       Sosialisasi untuk memberi pemahaman warga sekolah mengenai pengetahuan dan sikap terhadap bencana. Sosialisasi ini dapat diintegrasikan dalam pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dengan berbagai alternatif yang disarankan dalam pengarusutaman pengurangan resiko bencana sebagai berikut:


1.       Mengintegrasikan PRB kedalam mata pelajaran dari kurikulum yang berjalan.

2.       Mengintegrasikan PRB kedalam muatan lokal dari kurikulum yang berjalan.

3.       Mengintegrasikan PRB kedalam kegiatan ekstra kurikuler dari kurikulum yang berjalan.

4.       Menyelenggarakan mata pelajaran PRB untuk muatan lokal dibawah kurikulum baru berbasis PRB.

5.      Membuat kegiatan ekstra kurikuler PRB dibawah kurikulum baru berbasis PRB.


b.      Menyediakan kebijakan/program sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah, termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah. Beberapa penataan sarana prasarana seperti lemari, hiasan dinding, jarak antara kursi dengan meja berhasil diidentifikasi pada saat observasi di sekolah inklusi oleh tim dari ASB dan mahasiswa Jurusan PLB memerlukan penyesuaian. Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk keamanan siswa saat terjadi bencana (misal: gempa) dan pada saat upaya evakuasi. Selain itu kondisi bangunan serta mebel yang sudah rapuh dan dimungkinkan roboh sewaktu-waktu memerlukan tanda supaya anak menghindari daerah tersebut agar tidak cidera. Beberapa penyesuaian tataruang dapat dilihat dalam tabel 4 berikut :


Tabel 4: Penataan tataruang yang aman untuk anak

Hal yang perlu diperhatikan
Penyesuaian




1.
Posisi lemari yang dekat
a)
Jauhkan lemari dari tempat duduk siswa dan pintu

dengan tempat duduk

masuk karena dapat menghalangi proses evakuasi

siswa

bila dekat pintu masuk dan dimungkinkan



merubuhi siswa.
2.
Posisi lemari di dekat


pintu masuk
b)
Memasang siku yang dipaku dengan dinding




3.
Posisi tempat duduk
c)
Pecahan jendela dapat melukai siswa sehingga

siswa dekat jendela

jauhkan tempat duduk siswa dan pasang stiker



pengaman pada kaca




4.
Letak tempat duduk
d)
Posisi tempat duduk yang terlalu berhimpit

dengan jarak yang

mempersulit siswa saat berlindung di bawah meja

terlalu berhimpit

saat terjadi gempa sehingga jaraknya perlu



diperlebar.




5.
Hiasan dinding di kelas
e)
Hiasan dimungkinkan menjatuhi siswa sehingga

yang dekat dengan

perlu dijauhkan atau pemasangannya dibatasi

tempat duduk siswa

sesuai keperluan.




6.
Penempatan benda di
f)
Penempatan benda di atas lemari dapat menjatuhi

atas lemari, misal: TV

siswa dibawahnya. Pemasangan siku yang dipaku



dengan dinding dianjurkan.


g)
Penempatan barang yang berat diletakkan di paling



bawah, dan semakin ke atas semakin ringan.




7.
Parkir sepeda dan motor
h)
Penempatan tempat parkir khusus yang tidak

di depan kelas

menghambat jalur evakuasi.





Sumber: AHA: sekarang aku bisa (2009) Buku panduan Pembelajaran Materi PRB untuk ABK. Kerjasama ASB-Dinas Dikpora DIY-Jurusan PLB FIP UNY

c.       Membuat rencana aksi sekolah untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur evakuasi. Pembuatan jalur evakuasi maupun peta bahaya dapat mengacu hal-hal berikut ini:

1)      Identifikasi bahaya, pendukung, dan kelompok rentan di dalam tata ruang dan lingkungan sekolah.



a)      Bahaya merupakan segala sesuatu (tempat, benda, ataupun situasi) yang dapat menghambat evakuasi, contoh: posisi lemari yang dekat dengan tempat duduk siswa.

b)      Pendukung merupakan segala sesuatu (tempat, benda, ataupun situasi) yang mendukung proses evakuasi, contoh: halaman sekolah sebagai tempat evakuasi.

c)      Kelompok rentan merupakan seorang atau sekelompok orang yang lebih rentan ketika terjadi bencana, contoh: ABK pengguna kursi roda

2)      Memposisikan bahaya, pendukung dan kelompok rentan dalam denah sekolah dengan memberi warna berbeda antara bahaya, pendukung dan kelompok rentan.

3)      Membuat rencana tindakan penyelamatan bagi ABK. Dalam membuat rencana tindakan penyelamatan, guru perlu mengenali kemampuan mobilitas ABK. Kemampuan mobilitas menurut ASB dibagi dalam beberapa kategori:


Tabel 5: Kategori kemampuan mobilitas ABK

Kategori
Keterangan


Rencana aksi


Kategori 1
ABK mampu melakukan
ABK  sebaiknya  duduk  di  depan,  dekat

perlindungan
diri
dan
dengan guru




evakuasi secara mandiri




Kategori 2
ABK mampu melakukan
ABK  sebaiknya  duduk  di  depan,  dekat

perlindungan
diri
tapi
dengan  guru  karena  ABK  memerlukan

memerlukan
bantuan
bantuan untuk evakuasi, maka perlu ditunjuk

untuk evakuasi


Penanggung
Jawab
yang
akan





membantunya,  misalnya  Guru  Kelas  atau





teman sebangku/sekelasnya

Kategori 3
ABK
tidak
mampu
ABK  sebaiknya  duduk  di  depan,  dekat

melakukan  perlindungan
dengan  guru.  Karna  ABK  memerlukan

diri  dan
evakuasi
secara
bantuan   untuk   perlindungan   diri   dan

mandiri.



evakuasi, maka perlu ditunjuk Penanggung





Jawab  yang  akan  membantunya,  misalnya





Guru
Kelas
atau
teman





sebangku/sekelasnya.
ABK   juga
perlu





disiapkan  alat  perlindungan  diri,  misalnya





helm.







4)      Menentukan jalur evakuasi untuk setiap ruangan di sekolah. Jalur evakuasi dapat menggunakan penunjuk arah yang jelas untuk menuju lapangan terbuka sebagai tempat berkumpul. Penentuan jalur evakuasi perlu menghindari: tiang


listrik karena dimungkinkan roboh, tower air, dan selokan yang terbuka karena

dimungkinkan anak terperosok ke dalamnya.



d.      Pelatihan komunitas sekolah dalam prosedur keadaan darurat bencana (simulasi drill dan peringatan dini). Simulasi yang terhadap ABK memerlukan penyesuaian berdasarkan kebutuhan khusus yang ada pada anak. Berikut ini beberapa saran untuk pemberian informasi kepada ABK berdasarkan kebutuhan mereka.

Tabel 6: Saran untuk pemberian informasi PRB kepada ABK

Jenis Kebutuhan
Keterbatasan
Tips Praktis
Saran
khusus
yang dimiliki


Autis
Keterbatasan
Informasi yang diberikan
§ Posisikan anak di depan

bahasa
dalam bentuk visual,
supaya dapat mendengar


kinestetik dan taktil, misal:
maupun melihat gerak


melalui video/film,
bibir guru lebih jelas.


gambar, simulasi dan
§ Pastikan guru dan teman-


demonstrasi.
temannya berbicara

Kewaspadaan
Membutuhkan bantuan
dengan jelas. Minta anak

terhadap bahaya
orang dewasa ”sebagai
mengulang informasi

rendah
alarm” bahaya
untuk memastikan bahwa


Jelaskan prosedur
dia mendengarkan.


penyelamatan dengan
§ Pastikan kontak mata


jelas dengan bahasa yang
dengan anak saat berbicara


sederhana.
dengannya. Beritahukan



kepada teman-temannya



juga untuk melakukan hal



sama saat berbicara



dengan anak dengan



gangguan penglihatan.




Gangguan
Keterbatasan
Tips Praktis
Saran
Pendengaran
yang dimiliki



Keterbatasan
Informasi yang diberikan
§ Posisikan anak di depan
(tunarungu
Pendengaran,
dalam bentuk visual,
supaya dapat mendengar
wicara)

kinestetik dan taktil, misal:
maupun melihat gerak


melalui video/film,
bibir guru lebih jelas.


gambar, simulasi dan
§ Pastikan guru dan teman-


demonstrasi.
temannya berbicara



dengan jelas. Tetapi tidak



berteriak karena dapat



menyebabkan kata terucap



tidak jelas.



§ Minta anak mengulang



pertanyaan untuk



memastikan







pemahamannya.




§ Minta teman sebangku





anak untuk mengulang





apabila diperlukan.




§ Pastikan wajah terarah ke





anak saat berbicara





dengannya. Beritahukan





kepada teman-temannya





juga untuk melakukan hal





sama saat berbicara





dengan anak dengan





gangguan penglihatan.









Membutuhkan tanda





bahaya visual (lampu





sirine)



Penguasaan

Jelaskan prosedur



bahasa terbatas

penyelamatan dengan





jelas dengan bahasa yang





sederhana.


Gangguan emosi
Keterbatasan

Tips Praktis

Saran
dan perilaku
yang dimiliki




(tunalaras)
Berperilaku
-
Mengadakan kontrak
Memberikan pilihan

semaunya sendiri

belajar di awal

tanggungjawab dalam



pembelajaran

proses belajar mengajar


-
Menerapkan kontrak
Guru bersama anak



secara ketat

menyepakati sangsi





apabila anak melakukan





hal-hal merugikan orang





lain.




Guru menerapkan sanksi





setiap anak melanggar





kesepakatan






Gangguan
Keterbatasan

Tips Praktis

Saran
penglihatan
yang dimiliki





Keterbatasan

Informasi yang diberikan
§ . Anak akan lebih
(tunanetra)
Penglihatan

dalam bentuk auditif,

diuntungkan dalam hal



kinestetik dan taktil, misal:

mobilitas jika ia didudukkan



melalui kaset, miniatur,

di depan, tapi tidak didekat



simulasi dan

pintu atau jendela.



gambar/tulisan besar bagi
§ Pintu harus dalam keadaaan



low vision.

terbuka penuh atau tertutup





rapat




§ Lakukan simulasi secara





berkala dan terjadwal.




§ Segera beritahu anak apabila





ada perubahan tata letak




§ Ucapkan kata pada saat





masuk maupun keluar dari





kelas atau ruangan.





§ Panggil anak dengan



namanya.



§ Pergunakan kata-kata



keterangan misal : maju,



mundur, kanan, kiri ketika



menjelaskan arah. Usahakan



tidak menggunakan kata :



ini, itu, disana, disini dll.



§ Deskripsikan secara detail



tentang hal-hal yang bersifat



visual,



§ Tidak perlu berkata keras-



keras pada anak



§ Sediakan teman untuk



membantu anak ketika



evakuasi




Gangguan fisik
Hambatan
Tips Praktis
Saran
(tunadaksa)
Keterbatasan
-Atur ruangan agar anak
§ Atur jarak antar meja dan

gerak
bebas gerak
furniture agar bisa dilewati



kursi roda


-Rute bebas hambatan
§ Anak akan lebih diuntungkan


antar tempat. Misal dari
dalam hal mobilitas jika ia


kelas menuju ke lapangan,
didudukkan di depan


saluran air ditutup, dsb
§ Simpan barang pada rak



yang tidak terlalu tinggi


-Sediakan barang yang
sehingga mudah diraih anak


diperlukan dalam
(idealnya sejajar dengan


jangkauan anak
mata anak)





Pada anak
Lihat pada anak dengan


tunadaksa yang
gangguan mental


juga mengalami



gangguan mental


Gangguan
Keterbatasan
Tips Praktis
Saran
intelektual
yang dimiliki


(tunagrahita,slow
Sulit memahami
Informasi yang diberikan
§ Dudukkan anak tunagrahita,
learner)
informasi abstrak
bersifat konkrit, misal
slow learner bersama teman.


dengan gambar, film dan
Jangan biarkan anak


demonstrasi
tunagrahita/slow learner



duduk sendiri.



§ Lakukan simulasi secara



berkala dan terjadwal.



§ Beri penjelasan kepada



teman sebangku mengenai



tugas dan perannya sebagai



peer tutor





Mudah lupa
-Pengulangan informasi



-Pembiasaan melakukan





prosedur mengatasi



bahaya


Kewaspadaan
Membutuhkan bantuan


terhadap bahaya
orang dewasa ”sebagai


rendah
alarm” bahaya


Tidak memiliki
Membutuhkan orang


inisiatif
untuk memandu anak jika



terjadi bencana


Rentang
Menyampaikan materi


perhatian
secara bertahap. Untuk di


terbatas
kelas yang beragam,



fleksibilitas kedalaman



materi diperlukan


Sumber: ASB, Dinas Dikpora, Jurusan PLB (2009) Aha, Sekaran Aku Bisa: Panduan Pembelajaran Materi Pengurangan Risiko Bencana untuk Anak berkebutuhan Khusus

D. Penutup

Mewujudkan pendidikan mitigasi bencana di sekolah menjadi agenda utama untuk menjadikan para generasi muda lebih tanggap bencana pada era-era di masa mendatang. Khususnya di sekolah inklusi, diperlukan berbagai penyesuaian dari segi sarana penunjang sampai dengan kebijakan sekolah. Hal tersebut menjadi pembelajaran bermakna bagi anak lainnya untuk memperhatikan kebutuhan berbagai kondisi di sekitarnya. Dengan tetap mengacu pada pengarusutamaan pengurangan resiko bencana di sekolah maka langkah-langkah: a) Sosialisasi untuk memberi pemahaman warga sekolah mengenai pengetahuan dan sikap terhadap bencana, b) Menyediakan kebijakan/program sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah, termasuk pengaturan berbagai sarana prasarana yang aman untuk warga sekolah, c) Membuat rencana aksi sekolah untuk menghadapi bencana, termasuk pembuatan jalur evakuasi dan d) Pelatihan komunitas sekolah dalam prosedur keadaan darurat bencana (simulasi drill dan peringatan dini) juga dapat diterapkan di sekolah inklusi.


Kajian Pustaka

ASB, Dinas Dikpora, Jurusan PLB (2009) Aha, Sekaran Aku Bisa: Panduan Pembelajaran Materi Pengurangan Risiko Bencana untuk Anak berkebutuhan Khusus

Nina Sardjunani dan Hadi Suprayoga (2010) Country Experience: Advancing Child Rights in Disaster Risk Reduction Initiatives in Insarannesia. Pertemuan Tingkat Tinggi pada Perlindungan Hak Anak di Asia dan Pasifik, Beijing, RRC, 4-6 November 2010

Sutji Harijanto (2011) The Insarannesian Goverment Policy on Special Education in Global Perspective pada International Seminar on Special Education, 19 Maret 2011.

Surat Edaran Mendiknas No 70a/MPN/SE/2010 tentang Strategi Nasional Pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana ke dalam Sistem Pendidikan


Undang-Undang Republik Insarannesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar